Drama Abiss! Aku Menatap Langit Terbakar, Tapi Hanya Mencari Siluetmu

Aku Menatap Langit Terbakar, Tapi Hanya Mencari Siluetmu

Malam itu, langit Kota Terlarang bernapas api. Kobaran membubung, melahap atap-atap istana yang angkuh, memantulkan warna neraka pada salju yang baru turun. Aroma anyir darah bercampur dengan wangi dupa yang membakar, menciptakan aroma kematian yang menyesakkan. Di tengah kekacauan itu, mataku terpaku pada satu siluet. Siluetnya, hanya siluetnya, yang kucari di antara kobaran.

Namanya Li Wei, dan dia adalah racun di nadiku.

Dulu, kami adalah anak-anak yang berbagi mimpi di bawah pohon sakura yang sama. Dulu, aku menyebutnya "kakak". Dulu, aku percaya cintanya adalah matahari. Tapi waktu, seperti belati yang diasah, mengkhianati semuanya. Rahasia demi rahasia terkuak, mengungkap akar kebencian yang menjalar dalam setiap urat nadi keluarganya, keluargaku. Kebencian yang mengalir deras, membawa serta janji-janji yang dulu kami ukir di atas abu.

Li Wei berdiri di balkon, jubah kebesarannya berkibar tertiup angin malam yang menusuk tulang. Wajahnya, diterangi nyala api, tampak dingin dan jauh. Tidak ada ekspresi, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kabut. Aku ingat bibirnya pernah bergetar saat mengucapkan janji setia. Sekarang, bibir itu adalah garis tipis yang menyimpan segala kebohongan dan pengkhianatan.

"Li Wei," desisku, suaraku serak tertelan gemuruh api. "Kenapa?"

Ia tidak bergeming. Air mataku membeku di pipi, membentuk jalur-jalur es yang perih. Aku melihat bayangan masa lalu kami menari di antara nyala api. Aku melihat tawa kami, sentuhan kami, semua yang telah hilang, semua yang telah DIHANCURKAN.

Malam itu, malam panjang yang tak kunjung usai, kebenaran akhirnya terungkap. Keluarga Li Wei adalah dalang di balik kematian ayahku. Mereka merebut kekuasaan, menginjak-injak nama baik keluargaku, dan menghancurkan hidupku. Dan Li Wei... Li Wei adalah bagian dari konspirasi itu.

Luka menganga di dadaku, lebih dalam dari sayatan pedang manapun. Tapi di balik luka itu, tumbuhlah tekad. Tekad untuk membalas dendam. Balas dendam yang dingin, terencana, dan tak terhindarkan.

Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma kematian dan kebencian. Aku akan membuatnya merasakan apa yang kurasakan. Aku akan membuatnya kehilangan semua yang dia miliki. Aku akan menghancurkannya, perlahan dan menyakitkan, hingga tidak ada yang tersisa kecuali penyesalan.

Bertahun-tahun kemudian, ketika debu telah mengendap dan istana telah dibangun kembali di atas abu, aku berdiri di balkon yang sama. Di bawahku, Li Wei berlutut, mata terpejam, menunggu eksekusinya. Tidak ada permohonan, tidak ada air mata. Hanya penerimaan.

"Kau tahu kenapa aku melakukan ini, bukan?" tanyaku, suaraku sedingin es.

Ia mengangguk lemah.

Aku mengangkat tangan, memberikan isyarat pada algojo. Pedang berkilauan di bawah sinar bulan yang pucat. Sebelum pedang itu jatuh, aku membisikkan satu kalimat di telinganya:

"Kau akan menyesali hari kau dilahirkan, Li Wei."

Pedang menebas. Darah memuncrat ke salju yang bersih. Senyap.

Malam itu, setelah kematiannya, aku bermimpi tentang pohon sakura. Dalam mimpi itu, Li Wei tersenyum padaku. Tapi senyum itu tidak mencapai matanya. Dan aku tahu, bahkan di alam baka, dia tidak akan pernah bebas dari bayanganku.

Aku menghela napas panjang, merangkai serangkaian rencana yang lebih mengerikan. Karena kematiannya hanyalah permulaan.

Dan saat itulah, kurasakan hembusan napas dingin di leherku, dan mendengar bisikan lirih yang membuat bulu kudukku meremang: "Aku selalu mengawasimu..."

You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Lokal Dengan

OlderNewest

Post a Comment