Bayangan yang Menyembah Cinta yang Salah
Di balik gemerlap istana Kekaisaran Langit, tersembunyi sebuah cerita yang lebih gelap dari malam tanpa bintang. Kisah ini tentang Lian, seorang putri yang dulunya dikenal karena keanggunannya yang memukau dan hati yang tulus. Namun, cinta dan kekuasaan, bagai dua sisi koin yang sama beracunnya, telah merenggut segalanya darinya. Ia di tipu, di khianati, dan di buang—di hancurkan hingga berkeping-keping.
Lian yang dulu telah mati.
Yang tersisa adalah bayangan. Bayangan yang menari di antara pilar-pilar istana, mengamati, merencanakan. Sebuah bunga yang tumbuh di medan perang, rapuh namun memiliki akar yang menjalar kuat di antara reruntuhan.
Dulu, matanya memancarkan kelembutan. Sekarang, mata itu adalah lautan es, menyimpan badai yang siap menerjang. Bibirnya yang dulu selalu tersenyum, kini hanya melukiskan garis tipis, nyaris tak terlihat—sebuah senyuman yang lebih mematikan daripada pedang.
Perjalanannya dari kehancuran menuju kebangkitan adalah simfoni pedih. Setiap langkah yang diambilnya, setiap rencana yang disusunnya, adalah bukti dari luka yang tak tersembuhkan. Ia tidak berteriak. Ia tidak menangis. Ia bergerak dalam kesunyian yang mematikan, seperti hantu yang menghantui mimpi-mimpi mereka yang telah mengkhianatinya.
Target utamanya: Kaisar, pria yang dulu ia cintai dan percayai sepenuh hati. Pria yang kini, di matanya, hanyalah pion dalam permainan yang akan ia menangkan. Ia mempelajari setiap kelemahannya, setiap ambisinya, setiap rahasia kotor yang disembunyikannya di balik jubah kekuasaan.
Lian tidak membalas dendam dengan amarah yang membabi buta. Tidak, ia terlalu cerdas untuk itu. Dendamnya adalah tarian yang elegan, orkestrasi yang sempurna dari kebohongan, manipulasi, dan pengkhianatan. Ia menggunakan orang-orang di sekeliling Kaisar sebagai bidak catur, menggerakkan mereka dengan keahlian seorang dalang. Ia menabur benih keraguan di antara sekutu-sekutunya, memicu perselisihan dan perebutan kekuasaan.
Setiap malam, di bawah cahaya rembulan, Lian berlatih pedang. Gerakannya anggun namun mematikan. Setiap tebasan adalah representasi dari rasa sakit yang pernah ia rasakan, rasa sakit yang kini ia ubah menjadi kekuatan.
Ketika saatnya tiba, Lian menghadapi Kaisar bukan dengan pedang terhunus, tapi dengan senyuman dingin di bibirnya. Ia mengungkap kebenaran tentang kejahatannya, membeberkan rahasia-rahasia yang akan mengguncang Kekaisaran hingga ke akarnya. Kaisar, yang dulu perkasa dan tak terkalahkan, kini berdiri telanjang di hadapan kebenaran—dan di hadapan tatapan dingin Lian.
Akhir cerita ini tidak diwarnai dengan darah dan kekerasan. Tidak, Lian lebih memilih untuk meruntuhkan kekaisaran Kaisar dari dalam, membiarkan keserakahannya sendiri yang menghancurkannya. Ia menciptakan kekacauan yang sempurna, sebuah tarian kehancuran yang akan dikenang selama berabad-abad.
Di akhir segalanya, Lian berdiri di atas reruntuhan masa lalunya, seorang wanita yang telah dilahirkan kembali dari api. Luka-lukanya masih ada, namun kini, luka-luka itu adalah medali kehormatan, bukti bahwa ia telah selamat dari badai yang paling mengerikan.
Ia adalah Ratu Bayangan, penguasa atas takdirnya sendiri.
Dan saat ia menatap ke arah matahari terbit, senyum misterius terukir di bibirnya, sebuah senyum yang menjanjikan lebih banyak rahasia, lebih banyak kekuatan, lebih banyak… kehancuran?
"Kini, mahkotaku adalah kebebasanku yang PAHIT."
You Might Also Like: Skincare Pencerah Wajah Tanpa Iritasi
Post a Comment