Bayangan yang Menjadi Saksi Cinta
Kabut tebal menyelimuti Danau Bulan Sabit, sama pekatnya dengan ingatan yang terkubur seratus tahun lamanya. Mei Lan berdiri di tepi danau, merasakan getaran aneh yang menjalar di tulang punggungnya. Aroma Osmanthus yang merebak di udara membuatnya terhuyung, seolah ditarik kembali ke masa lalu yang bukan miliknya.
"Bunga itu…," bisiknya lirih, menyentuh kelopak bunga berwarna kuning pucat. "Rasanya… aku pernah melihatnya."
Di sisi lain danau, berdiri seorang pria bernama Jian. Ia seorang pelukis terkenal, namun jiwanya terasa kosong. Lukisannya selalu menampilkan pemandangan Danau Bulan Sabit yang diselimuti kabut, dan sosok seorang wanita bergaun putih. Ia tidak tahu siapa wanita itu, namun hatinya selalu merindukannya.
Pertemuan pertama mereka terjadi di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Jian sedang melukis pemandangan danau ketika Mei Lan lewat. Pandangan mereka bertemu, dan dunia seolah berhenti berputar.
"Suara itu…," gumam Jian, merasa familiar dengan nada lembut suara Mei Lan.
"Kau…," Mei Lan terpaku, merasakan getaran aneh yang membuatnya sulit bernapas. "Aku merasa… aku mengenalmu selamanya."
Sejak saat itu, takdir seolah menuntun mereka untuk terus bertemu. Mei Lan bekerja di kedai teh milik bibinya, tempat Jian sering berkunjung untuk melukis. Perlahan, kepingan-kepingan masa lalu mulai bermunculan dalam mimpi mereka.
Mereka melihat diri mereka di kehidupan sebelumnya: Li Wei, seorang jenderal gagah berani, dan Hua Lian, putri seorang tabib istana. Mereka saling mencintai, namun cinta mereka terhalang oleh intrik dan pengkhianatan. Li Wei dituduh berkhianat dan dihukum mati, sedangkan Hua Lian dipaksa menikahi seorang pangeran kejam. Sebelum mengakhiri hidupnya, Hua Lian bersumpah akan membalas dendam atas kematian Li Wei. Li Wei, dengan nafas terakhirnya, berjanji akan mencari Hua Lian di kehidupan selanjutnya.
"Kita berjanji… janji yang mengikat jiwa kita," bisik Mei Lan di suatu malam yang sunyi.
"Ya, janji yang dilumuri darah dan air mata," sahut Jian, menggenggam erat tangan Mei Lan.
Namun, ada sesuatu yang janggal. Dalam mimpi mereka, ada sosok ketiga: seorang wanita berpakaian serba hitam, dengan tatapan penuh kebencian. Wanita itu adalah Nian, sahabat Hua Lian, yang diam-diam mencintai Li Wei. Dialah yang menjebak Li Wei, karena dilanda cemburu dan ambisi.
Kebenaran pahit pun terungkap: bukan balas dendam yang dicari Hua Lian di kehidupan ini, melainkan pengampunan. Nian, yang kini bereinkarnasi sebagai Li Shu, seorang wanita kaya raya dan berkuasa, hidup dengan rasa bersalah yang menghantuinya. Mei Lan, dengan keheningan dan keanggunannya, mampu membuat Li Shu mengakui dosanya dan memohon ampun.
Mei Lan tidak membalas dendam dengan kemarahan, melainkan dengan keheningan yang menusuk. Ia memaafkan Li Shu, melepaskan rantai kebencian yang telah mengikat mereka selama seratus tahun. Jian, yang menyaksikan semuanya, akhirnya menemukan kedamaian dalam jiwanya. Ia mengerti bahwa cinta sejati adalah tentang melepaskan, bukan membalas.
Di akhir cerita, Mei Lan dan Jian berdiri di tepi Danau Bulan Sabit, menatap mentari yang mulai tenggelam.
"Ingatkah kau…," bisik Mei Lan, suaranya bergetar. "…janji yang terucap di bawah pohon persik?"
Apakah ini akhir, ataukah awal dari babak baru?
You Might Also Like: Distributor Kosmetik Reseller Dropship
Post a Comment