Seru Sih Ini! Aku Menjadi Screenshot Di Galeri Barunya

Aku Menjadi Screenshot Di Galeri Barunya

Malam di kota Yanling terasa menusuk tulang, seolah setiap keping salju membawa serta pecahan masa lalu. Di tengah keheningan yang menyesakkan, Li Mei berdiri di depan kuil yang remang-remang. Asap dupa menari-nari, membentuk bayangan yang menyerupai wajah mengancam. Di tangannya tergenggam erat jepit rambut perak berbentuk bangau, hadiah dari pria yang dulu, dulu sekali, adalah dunianya.

"Kau datang juga akhirnya, Li Mei," suara berat itu memecah kesunyian.

Pria itu, Zhang Wei, berdiri di ambang pintu kuil. Wajahnya keras, garis-garis kekecewaan terukir dalam di setiap kerutan. Matanya, dulu teduh dan penuh cinta, kini hanya memancarkan kebencian membara.

"Zhang Wei..." bisik Li Mei, suaranya tercekat.

"Jangan sebut namaku!" bentaknya. "Nama itu terasa seperti racun di lidahku setelah apa yang kau lakukan!"

Darah di salju. Warna merah yang kontras, sama seperti cinta mereka yang dulu begitu membara, kini menjadi noda memalukan di hamparan kenangan.

Li Mei menunduk, air mata menitik jatuh di antara asap dupa yang pedih. "Aku... aku bisa menjelaskan."

"Menjelaskan?" Zhang Wei tertawa sinis. "Menjelaskan bagaimana kau mengkhianati keluargaku? Menjelaskan bagaimana kau membocorkan rahasia bisnis yang membuat ayahku bangkrut dan mati karena malu? Menjelaskan bagaimana kau… bagaimana kau membuatku mencintaimu hanya untuk menghancurkanku?"

FLASHBACK. Adegan-adegan masa lalu berputar di benak Li Mei seperti kaset rusak. Pertemuan pertama mereka di bawah pohon wisteria yang bermekaran. Ciuman pertama di tengah hujan badai. Janji setia di tepi Danau Bulan Sabit.

Tapi bayangan itu kini ternoda oleh pengkhianatan. Kebenaran yang selama ini disembunyikan akhirnya terbongkar. Li Mei, putri dari keluarga yang berseteru dengan keluarga Zhang Wei, diperintahkan untuk mendekati Zhang Wei dan menghancurkannya dari dalam.

"Itu semua... itu semua demi keluargaku," lirih Li Mei. "Mereka mengancam… Mereka mengancam akan membunuh adikku!"

"Alasan yang basi!" Zhang Wei menghardik. "Kau pikir aku peduli dengan alasanmu? Kau pikir aku peduli dengan adikmu setelah kau merenggut segalanya dariku?!"

Janji di atas abu. Semua janji indah yang pernah terucap kini hanya menjadi abu yang beterbangan dihembus angin malam.

"Aku tahu aku salah," isak Li Mei. "Aku tahu aku menyakitimu. Tapi aku… aku mencintaimu, Zhang Wei. Aku benar-benar mencintaimu."

Zhang Wei terdiam. Ekspresinya tak terbaca. Lalu, dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan ponselnya.

"Kau tahu, Li Mei?" ujarnya dingin. "Selama ini aku menyimpan setiap screenshot percakapan kita. Setiap foto dirimu. Setiap bukti pengkhianatanmu."

Ia mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Li Mei. "Kau menjadi arsip digital dalam hidupku. Sebuah bukti visual dari betapa bodohnya aku."

Mata Li Mei terbelalak. Ia tahu apa yang akan terjadi. Balas dendam yang selama ini ditunggu-tunggu.

Zhang Wei tersenyum tipis. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan, Li Mei? Bukan pengkhianatanmu. Tapi kenyataan bahwa aku masih mencintaimu… sedikit."

Lalu, dengan satu sentuhan jari, ia mengirimkan semua screenshot itu ke media sosial. Ke seluruh dunia.

Li Mei terhuyung mundur, menutupi wajahnya dengan tangan. Hancur. SEMPURNA.

Zhang Wei berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Li Mei sendirian di tengah malam yang dingin. Di pundaknya bertengger salju yang belum mencair, mencerminkan beratnya hati yang telah ia pikul terlalu lama.

Ia berhenti sejenak di ambang pintu kuil, tanpa menoleh. "Kebahagiaanmu… selesai."


Keesokan harinya, Li Mei ditemukan tewas di depan kuil. Di tangannya masih tergenggam erat jepit rambut perak berbentuk bangau. Sebuah pesan tertulis di salju dengan darah: "Kenangan Abadi".

Di galeri ponsel Zhang Wei, foto Li Mei tetap ada. Menunggu

You Might Also Like: 0895403292432 Peluang Bisnis Skincare

OlderNewest

Post a Comment