Pedang yang Menangis di Tangan Baru
Angin berdesir di Bukit Seribu Kabut, membawa aroma pinus dan darah. Di sanalah, di bawah tatapan rembulan pucat, dua siluet berdiri. Yuè Lóng, dengan jubah putih bersih yang kini ternoda merah, dan Chén Xiāo, dengan pedang di tangannya yang bergetar. Dulu, mereka adalah saudara angkat, bersumpah setia di bawah pohon sakura yang sama. Dulu.
"Xiāo," suara Yuè Lóng lirih, bagai bisikan maut. "Mengapa?"
Chén Xiāo menunduk, rambutnya yang panjang menutupi raut wajahnya. "Kau... tidak akan mengerti."
"Tidak mengerti?" Yuè Lóng tergelak, tawa getir yang membelah malam. "Aku mengira kita saling memahami, Xiāo. Kita berbagi mimpi, latihan pedang, bahkan... cinta pada Mei Lán."
"Cinta?" Chén Xiāo mengangkat wajahnya, matanya berkilat marah. "Kau merebutnya! Kau merebut segalanya dariku, Yuè Lóng! Tahta Kekaisaran, kehormatan, dan... dia!"
Yuè Lóng menggeleng. "Itu bukan kemauanku. Aku tidak pernah menginginkan semua itu. Aku hanya ingin kau berada di sisiku, Xiāo. Selamanya."
"Kebohongan!" Chén Xiāo meludah ke tanah. "Semua yang keluar dari bibirmu adalah kebohongan. Bahkan persaudaraan kita!"
Kilatan masa lalu menari-nari di benak Yuè Lóng. Ingatan tentang masa kecil mereka, saat mereka menemukan sebuah pedang kuno di kuil yang terlupakan. Pedang itu, Sang Pemecah Jiwa, hanya bisa diangkat oleh salah satu dari mereka. Yuè Lóng yang berhasil. Sejak saat itu, takdir mereka terjalin, terikat oleh takdir dan RAHASIA.
"Pedang itu," Yuè Lóng berbisik, "Pedang itu… memilihku karena aku adalah pewaris garis keturunan terlarang. Garis keturunan yang seharusnya dimusnahkan."
Chén Xiāo terdiam. Tatapannya beralih dari kebencian menjadi kebingungan. "Apa maksudmu?"
"Ayahmu... dia tahu," Yuè Lóng melanjutkan, suaranya bergetar. "Dia tahu tentang takdirku. Dia seharusnya membunuhku saat aku lahir, tapi dia... menyelamatkanku. Dia menyembunyikanku, melindungiku... dan menyerahkan dirinya sebagai gantinya."
Chén Xiāo menggenggam pedangnya semakin erat. Kenangan tentang ayahnya, seorang jenderal yang gagah berani, membayang di benaknya. Ayahnya selalu menyayanginya, tapi ada kesedihan mendalam yang tak pernah bisa ia pahami di matanya.
"Itu tidak mungkin," desis Chén Xiāo. "Ayahku... dia adalah pahlawan Kekaisaran!"
"Pahlawan yang menyimpan rahasia besar," Yuè Lóng menyela. "Rahasia yang kau sendiri adalah bagian darinya, Xiāo. Kau... kau adalah saudara kandungku."
TERDIAM. Malam terasa membeku. Kilat menyambar, menerangi wajah Chén Xiāo yang pucat pasi.
"Tidak..." Chén Xiāo menggeleng, menolak kebenaran yang menyakitkan itu. "Kau berbohong!"
Yuè Lóng tersenyum pahit. "Kau bisa percaya apa yang kau inginkan. Tapi saat kau melihat pedang itu... Sang Pemecah Jiwa... kau akan melihat wajah ayah kita di sana. Wajah yang mencerminkan pengorbanan dan... penyesalan."
Dengan raungan putus asa, Chén Xiāo menerjang Yuè Lóng. Pedang mereka beradu, menciptakan percikan api yang menari-nari di kegelapan. Pertarungan itu sengit, brutal, dipenuhi dengan kebencian dan... cinta yang terkhianati.
Di akhir pertarungan, Yuè Lóng terbaring di tanah, darah mengalir dari lukanya. Chén Xiāo berdiri di atasnya, pedangnya meneteskan darah.
"Mengapa... mengapa kau tidak membela diri?" tanya Chén Xiāo, suaranya bergetar.
Yuè Lóng tersenyum lemah. "Karena aku tahu... kau tidak benar-benar menginginkan ini, Xiāo. Kau hanya korban dari takdir kita."
Chén Xiāo berlutut, air mata menetes ke pipi Yuè Lóng. "Aku... aku menyesal."
Yuè Lóng mengangkat tangannya, menyentuh pipi Chén Xiāo. "Jangan... jangan menyesal. Yang terpenting... kau tahu kebenaran."
Napas Yuè Lóng tersengal. Matanya menatap langit yang kelam.
"Maafkan aku... karena aku mencintaimu... lebih dari yang seharusnya..."
You Might Also Like: 7 Fakta Arti Mimpi Melihat Angsa Dalam
Post a Comment