Di antara kabut lembayung dan sungai yang bernyanyi lirih, terlukis kenangan tentangmu. Bukan kenangan nyata, mungkin. Lebih menyerupai fragmen mimpi yang tertinggal di balik kelopak mata. Wajahmu, selembut sutra yang diterbangkan angin musim semi. Senyummu, bagai bulan sabit yang mengintip di balik awan kelabu.
Aku memintamu pergi. Kata-kata itu meluncur dari bibirku seperti anak panah beracun. Pergilah, bisikku, berharap angin membawanya menjauh dari telingamu. Tapi langkahmu, oh, langkahmu yang ringan, masih menari-nari di labirin pikiranku. Bayanganmu masih membayang di balik tirai hujan, di setiap sudut ruang yang pernah kita bagi.
Apakah kau nyata? Pertanyaan itu menghantuiku setiap malam. Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh kesepian abadi yang menggerogoti hatiku? Kau seperti lukisan kuno yang ditinggalkan di loteng berdebu, indah namun tak tersentuh, memudar namun tak terlupakan.
Waktu, sungai yang mengalir tanpa henti, telah menghapus banyak hal. Tapi bukan dirimu. Bayanganmu semakin jelas, semakin tajam, semakin menyakitkan. Seolah kau adalah kutukan terindah yang pernah kuterima.
Di taman bunga persik yang bermekaran, di bawah rembulan yang pucat, aku melihatmu. Bukan wujudmu yang sebenarnya, tapi pantulan jiwamu dalam riak air kolam. Dan saat itu, aku mengerti.
Kau bukan sekadar mimpi. Kau bukan hanya ilusi. Kau adalah bagian dari diriku yang hilang. Kau adalah kepingan hati yang tercecer di dimensi waktu yang terlupakan. Kau adalah… aku.
Momen pengungkapan itu, seindah fajar yang menyingsing, justru menghancurkan hatiku berkeping-keping. Sebab menyadari bahwa kau adalah bagian dari diriku, berarti aku telah menyuruh diriku sendiri untuk pergi. Dan luka itu, luka itu tak tersembuhkan.
Tapi, bukankah kita selalu bertemu di sana?
You Might Also Like: Reseller Skincare Bisnis Sampingan
Post a Comment