Aku Membakar Istana Itu, Tapi Tak Bisa Membakar Rasa Ini
Lantai marmer istana terasa dingin di bawah telapak kakiku. Api menjilat dinding-dinding berukir naga, menari dengan liar seperti dendamku. Dulu, tempat ini adalah saksi bisu janji abadi. Sekarang, hanya abu dan bara yang tersisa. Aku, Putri Mei Lan, berdiri tegak di tengah kekacauan, jubah sutraku berkibar tertiup angin malam.
Lima tahun lalu, istana ini adalah surga. Lima tahun lalu, Kaisar Li Wei, kekasihku, berjanji akan membawaku ke altar. Senyumnya, dulu, terasa semanis madu. Pelukannya, dulu, adalah tempat teraman di dunia. Tapi madu itu beracun. Pelukan itu membelenggu.
Aku ingat dengan jelas malam ketika kebenaran terungkap. Bayangan seorang wanita lain, terukir di matanya. Bisikan-bisikan tentang perjodohan politik, takdir yang tak bisa dihindari. Janji Li Wei berubah menjadi BELATI TAJAM yang menusuk jantungku. Dia menikahi selir dari kerajaan utara demi aliansi, meninggalkan aku, cinta sejatinya, dalam kegelapan.
(Dia bilang, "Ini demi kerajaan, Mei Lan. Kau akan mengerti.")
Aku tidak mengerti. Aku tidak pernah mengerti.
Aku bisa saja meratap, memohon, atau bahkan mengakhiri hidupku. Tapi, darah bangsawan mengalir dalam nadiku. Aku memilih jalan yang berbeda. Aku belajar, aku merencanakan, aku menunggu. Aku menyembunyikan hatiku yang hancur di balik senyum sempurna, aku menyembunyikan rencana balas dendamku di balik setiap anggukan elegan.
Aku menjadi penasihatnya, bayangan yang setia. Aku mengumpulkan kekuatan, membangun aliansi sendiri. Aku memberikan saran yang brilian, memuluskan jalan menuju kekuasaannya, sambil diam-diam menabur benih kehancuran. Dia percaya padaku. Dia mempercayaiku.
Dan malam ini, panen telah tiba. Api melahap kerajaannya, dan dengan itu, ilusi kekuasaan yang dibangun di atas pengkhianatan. Li Wei berdiri di hadapanku, matanya dipenuhi kengerian dan kebingungan. Dia tidak melihat darah di tanganku, hanya asap.
"Mei Lan... kenapa?" bisiknya, suaranya pecah.
Aku tersenyum. Senyum yang sama yang dulu membuatnya tergila-gila. "Karena cinta, Yang Mulia. Dan karena, kadang, cinta dan dendam tak bisa dibedakan."
Aku tidak memerintahkan prajuritku untuk membunuhnya. Itu terlalu mudah. Sebaliknya, aku membiarkannya hidup, menyaksikan kerajaannya runtuh, menyaksikan semua yang dicintainya menjadi abu. Penyesalan, itulah hukuman yang paling berat.
Aku berbalik, meninggalkan istana yang terbakar. Langkahku ringan, meskipun hatiku terasa berat. Aku menang. Tapi kemenangan ini terasa pahit. Aku membakar istananya, tapi tak bisa membakar rasa ini. Api dendam telah padam, tapi abu cinta masih membara. Aku tahu, suatu hari nanti, dia akan mengerti.
Lalu aku menghilang, ditelan kabut pagi. Bayangan seorang putri yang hilang. Putri yang mencintai terlalu dalam, dan membenci dengan sangat sempurna. Putri yang mengerti bahwa...
Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama.
You Might Also Like: Kekurangan Face Wash Lokal Tanpa Bahan
Post a Comment