Hujan selalu jatuh di atas makam Lin Mei. Bukan gerimis manja, melainkan deras menusuk, seolah langit ikut menangisi kepergiannya. Daun-daun basah menempel di nisan abu-abu, seperti air mata yang tak henti mengalir. Di sanalah, di antara sunyi dan dingin, Lin Mei bergentayangan.
Dia sudah mati. Mati dengan amarah yang membara, dengan kata-kata yang tertahan di tenggorokan, dengan kebenaran yang terkubur bersamanya. Ia kembali bukan sebagai kenangan indah, melainkan bayangan yang menolak pergi, hantu yang terpaku pada satu tujuan: balas dendam.
Rumah keluarga Zhao, tempatnya dulu mengukir mimpi dan harapan, kini terasa asing dan menakutkan. Cahaya bulan menari di dinding, menciptakan siluet aneh yang menyerupai wajah-wajah tersiksa. Aroma dupa yang menyesakkan memenuhi udara, usaha sia-sia untuk mengusir kehadirannya.
Zhao Ming, tunangannya, berjalan dengan bahu merosot. Wajahnya pucat, matanya cekung, penuh penyesalan yang terlambat. Lin Mei membencinya. Ia membenci air mata palsunya, ia membenci kata-kata maaf yang tak tulus. Ia ingin Zhao Ming merasakan sakit yang sama, kehancuran yang sama, kematian yang sama.
Namun, setiap kali ia mendekat, setiap kali ia mencoba menyentuhnya dengan aura dinginnya, ada sesuatu yang menahannya. Bukan kekuatan magis, bukan jimat pelindung, melainkan kenangan. Kilasan-kilasan masa lalu yang indah, tawa renyah mereka di bawah pohon sakura, janji setia yang terucap di tepi sungai.
Lin Mei mulai ragu. Apakah benar balas dendam adalah jawaban? Apakah benar ia ingin mengutuk Zhao Ming selamanya?
Malam demi malam berlalu, diwarnai bisikan angin dan tangisan hujan. Lin Mei terus mengamati, terus merenung, terus bertanya pada dirinya sendiri. Ia melihat Zhao Ming menyiksa diri dengan rasa bersalah, ia melihat kesedihan mendalam di mata kedua orang tua Zhao, ia melihat hancurnya sebuah keluarga.
Ia juga melihat surat. Tersembunyi di antara tumpukan barang-barangnya, surat yang belum sempat ia kirimkan pada Zhao Ming. Surat yang berisi pengakuan, surat yang berisi cinta, surat yang berisi…pemaafan.
Di situlah Lin Mei tersadar. Bukan balas dendam yang ia cari, melainkan pengakuan. Bukan kehancuran, melainkan kebenaran. Ia ingin Zhao Ming tahu bahwa ia memaafkannya, bahwa ia mencintainya, bahwa ia tidak ingin ia hidup dalam penyesalan abadi.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Lin Mei membisikkan kata-kata maaf ke telinga Zhao Ming. Ia berusaha menyentuhnya, bukan dengan aura dingin kematian, melainkan dengan sentuhan lembut kenangan. Ia ingin Zhao Ming tahu bahwa ia sudah bebas.
Pagi itu, matahari terbit dengan indah. Hujan berhenti, digantikan oleh kicauan burung yang riang. Di atas makam Lin Mei, sebuah bunga sakura mekar sempurna, seolah tersenyum di antara nisan-nisan kelabu. Dan di kejauhan, di ambang antara dunia hidup dan arwah, ia menghilang, dengan jejak aroma melati yang tertinggal.
Ah, lega rasanya, akhirnya aku bisa…
You Might Also Like: Fakta Menarik Moisturizer Gel Dengan
Post a Comment