Angin musim gugur di Kota Terlarang berbisik lirih, membawa serta aroma dupa dan kenangan pahit. Aku, Lin Yue, berdiri di depan paviliun yang dulu menjadi saksi bisu sumpah setia. Sekarang, hanya hantu masa lalu yang menari-nari di antara pilar-pilar merah.
Lima ratus tahun berlalu sejak aku, Permaisuri Zhen, mati mengenaskan di tangan selir kesayangan kaisar, Mei Lan. Racun dalam teh, senyum palsu, dan janji abadi yang dilanggar. Setiap detailnya terukir jelas di benakku, seperti lukisan yang dilukis dengan darah.
Kehidupan ini, aku bukan lagi permaisuri. Aku seorang pelukis jalanan yang hidup sederhana. Namun, potongan-potongan memori terus menghantuiku, seperti pecahan cermin yang memantulkan masa lalu yang kelam. Dan kemudian, aku melihatnya.
Di tengah keramaian pasar, mata kami bertemu. Pria itu, dengan aura yang familier, memegang sapu tangan bersulam bunga plum – motif yang dulu hanya boleh dikenakan oleh Permaisuri. Ia adalah Li Wei, seorang pedagang kain kaya raya. Instingku menjerit. Ini dia. Mei Lan.
Aku mendekatinya perlahan, meneliti setiap gerak-geriknya. Suaranya, mimiknya, semuanya mengkhianati kebenaran. Dia tidak mengingatku. Atau, mungkin dia pura-pura lupa.
Rasa sakit dan amarah bergejolak dalam diriku. Balas dendam? Ya, tentu saja. Tapi bukan dengan pedang atau racun. Balas dendamku akan jauh lebih halus, lebih menusuk.
Li Wei tertarik dengan lukisanku. Ia memesan potret dirinya. Kesempatan sempurna. Selama berminggu-minggu, aku melukisnya, meneliti setiap guratan wajahnya, setiap kerutan di matanya. Aku menyerap auranya, mempelajari kelemahannya.
Dan kemudian, lukisan itu selesai.
Lukisan itu sempurna. Sangat realistis hingga terasa seperti melihat pantulan dirinya. Li Wei terpukau. Ia membayarku dengan jumlah yang fantastis. Aku tersenyum, senyum yang tidak ia mengerti.
"Lukisan ini akan membawa keberuntungan," kataku lirih. "Tapi ingat, Tuan Li, HARGA yang harus dibayar jauh lebih besar dari yang Anda bayangkan."
Aku tahu, lukisan itu akan menjadi kutukannya. Lukisan itu akan memengaruhi setiap keputusan bisnisnya, setiap hubungannya, setiap aspek kehidupannya. Aku memastikan itu. Aku melukiskan KETIDAKTENANGAN yang tersembunyi, KERAGUAN yang menggerogoti, dan PENYESALAN yang akan menghantuinya selamanya.
Li Wei tidak akan mati di tanganku. Ia akan mati perlahan, sedikit demi sedikit, dengan setiap tarikan napas.
Saat aku melihatnya untuk terakhir kalinya, ia berdiri di depan galerinya yang baru, lukisan dirinya terpampang megah di atas pintu masuk. Ia menatapku, matanya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. Aku tersenyum, senyum perpisahan.
Aku berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Kota Terlarang untuk selamanya. Angin berbisik di telingaku, membawa serta janji yang terucap lima ratus tahun yang lalu.
Dan suatu saat nanti, di kehidupan yang lain, di dunia yang lain, kita akan bertemu lagi... lalu aku akan mengingatmu.
You Might Also Like: Peluang Bisnis Skincare Bisnis
Post a Comment